Solok Terbaru

  • Kantin Kejujuran Habiskan Dana Rp41...
  • Tahun 2010, Kabupaten Solok Canangkan...
  • Bekas Kampus UMMY Koto Baru...
  • PGRI Kecamatan Gunung Talang Silaturrahmi...
  • Kajati: Berikan Reward kepada Kantin...

Sumbar Terkini

  • DKP: Pungutan Retribusi yang Tinggi...
  • DKP Setuju Penghapusan Retribusi Nelayan
  • Perampok dan Pemerkosa Ditembak di...
  • Unjuk Rasa Warga Blok Cepu...
  • Harga TBS Sawit Bertahan di...
Liukkan Kapak Ibrahim
Saturday, 14 November 2009 14:38

oleh Abdul Mutaqin

Dalam sejarah kenabian dan kemanusiaan, ingatan kita pada Khalilullah Nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalam akan tetap kukuh bersemayam. Bukan semata karena Ia tidak hangus dibakar, tetapi karena spirit imannya yang memancar ke seluruh jagat. Tentang keberaniannya berkomfrontasi pada ayahnya soal iman. Sampai kepada liukkan kapaknya menghancurkan tuhan-tuhan Namrudz sang penguasa lalim. Dan yang paling luar biasa, adalah kepatuhannya pada titah Allah untuk menyerahkan leher anaknya yang sangat ia cintai.

Banyak orang keliru memaknai cinta, terutama cinta kepada orang tua, anak dan isteri, karib-kerabat atau pada kawan yang teramat akrab. Mereka seringkali kelu untuk mengingatkan kesalahannya. Mereka sering gagap dan tak berdaya untuk menuruti kemauan mereka yang tidak pada tempatnya. Maka banyaklah kerusakan di muka bumi karena alasan cinta. Orang “rela” menjadi begundal, koruptor, pembunuh, penipu hanya karena tidak kuasa membedakan mana cinta dan menjadi hina atas nama cinta. Saatnya kembali berkaca pada Ibrahim ‘alaihissalam. Ayahnya ditentangnya habis-habiasan bukan karena durhaka, tapi sebab mengajak dirinya berbuat syirik. Sementara ia mengajak ayahnya kepada jalan iman lalu mendapat penolakan. Maka menentang ayah kandung dan mengingatkan kekeliruannya adalah setulus-tulus cinta pada ayahnya dan sekuat-kuat imannya dalam kebenaran.

Kapak Ibrahim ibarat senjata tauhid. Satu-satunya senjata dalam sejarah yang berhasil “membunuh” tuhan. Tentu, tuhannya orang-orang bodoh karena merendahkan akal budinya pada batu, pohon dan benda keramat. Bahkan dengan kapaknya itu, Ibrahim berhasil membuat para penguasa saat itu kehabisan kata dan seolah menjadi orang pandir karena perbuatannya sendiri. Sesaat setelah kapak Ibrahim meliuk-liuk mengahancurkan berhala-berhala kecil, dikalungkanlah kapaknya pada leher berhala yang paling besar.

“Wahai Ibrahim, apa yang telah kau lakukan pada tuhan-tuhan kami?”.

“Tanyakanlah pada tuhanmu yang melingkar kapak di lehernya”.

“Apa maksudmu?”.

“Maksudku, siapa yang memegang senjata, dialah pelakunya”.

“Wahai Ibrahim, apakah engkau tidak punya otak. Mana mungkin kami mengajak bicara pada batu yang bisu. Mana mungkin pula patung batu dapat mengahancurkan batu. Bergerak sendiri saja, itu tidak mungkin”.

“Kalau begitu, wahai kalian yang punya otak. Mengapa kalian mempertuhankan sesuatu yang bisu. Bahkan bergerak saja tidak sanggup. Apakah kalian tidak berpikir?  Allah Tuhanku Maha Mendengar dan Maha Kuasa atas segala sesuatu. Mengapa kalian menolak menyembahnya?”.

Sesungguhnya kita membutuhkan banyak “kapak” Ibrahim di zaman ini. Perilaku syirik telah mengalami metamorfosa dari wujudnya yang tradisional kepada wujud baru yang digital. Dampaknyapun bersifat massif dan instan. Rumah-rumah keluarga muslim pun tidak luput dari serangannya. Tayangan mistik, tahayul, perdukunan dan ramalan berjejal silih berganti. Televisi telah menjadi “tuhan” di rumah tangga dan menjadi agen alam gaib yang tidak Islami dan tidak rasional.

Kita masih membutuhkan banyak “kapak” Ibrahim di zaman ini. Untuk melumpuhkan ketidakadilah hukum yang menimpa orang teraniaya. Untuk mengingatkan penegak hukum yang culas dan sering berselingkuh dengan mafia peradilan. Untuk mempersenjatai para polisi, hakim dan jaksa yang jujur dalam membela rakyat jelat. Untuk mengingatkan para penguasa negeri yang larut dengan euporia kedigjayaan.

Kisah tentang leher Ismail masih harum sampai kini. Sebuah cermin ketaatan pada Allah yang tanpa batas dan reserve. Apalagi menjelang Iedul Qurban, harumnya semakin menyengat semerbak. Bersama ayahandanya; Ibrahim, mereka berdua bukan sekedar mengajarkan ikhlas berqurban, tetapi meluruskan tradisi berqurban ala jahiliyah.

Mengalirkan darah qurban sebenarnya merupakan tradisi atau kebiasaan manusia sejak zaman dulu. Manusia telah mengenal tradisi ini sebab diwarisakan dari generasi ke generasi. Akan tetapi, tradisi berqurban mereka, memiliki makna dan maksud yang bermacam-macam sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan para pelakunya. Namun secara umum, tidak begeser dari maksud untuk memohon keselamatan dari penyakit, bencana, membuang sial atau agar terlepas dari berbagai kutukan. Untuk itu, dialirkanlah darah hewan atau bahkan manusia, lalu dipersembahkan kepada gunung, sungai, laut, tempat keramat, kuburan, pohon besar atau tempat-tempat yang diyakini sebagai wilayah kekuasaan para dewa dan penguasa alam gaib. Qurban jahiliyah seperti ini, sering disebut sebagai sesaji, tumbal, ancak dan sejenisnya. Dalam pelaksanaannya menggunakan jasa perantara yang disebut dengan orang pintar, dukun, pawang atau pemangku adat yang mengambil tempat tidak lebih sebagai calo-calo alam ghaib.

Masyarakat Arab sebelum Islam pun, melakukan tradisi berqurban seperti ini. Bahkan dengan persangkaan cerdiknya, mereka membagi-bagi daging persembahan itu separuh untuk Allah dan separuhnya lagi untuk berhala-berhala mereka, dan separuhnya lagi untuk mereka nikmati bersama. Seolah-olah mereka memahami betul kebutuhan tuhan mereka atas daging yang dipersembahkan itu (lihat QS. Al-An’am [6] : 136).

Masih ingatkah kita kisah dua orang putra Nabi Adam; Qabil dan Habil yang saling berqurban di hadapan Allah? Salah seorang dari mereka diterima qurbannya, dan seorang lagi diabaikan Allah.

Allah sama sekali tidak membutuhkan sedikitpun dari kekayaan kita. Berapapun banyaknya harta yang sanggup diinfakkan seseorang, bukanlah satu-satunya ukuran untuk mendapat keridoan Allah. Dalam konteks berqurban, bukan seberapa ekor yang sanggup dipotong dan seberapa banyak darah yang dialirkan untuk menunjukkan bahwa ia telah berqurban. Tetapi, seberapa tinggi loyalitas dan kecintaannya kepada Allah melebihi cintanya kepada hewan yang disembelih dan dialirkan darahnya itu. Apalah artinya berlomba-lomba memotong hewan Qurban, apabila qurban pesembahannya itu tidak sanggup meruntuhkan egoisme dan kesombongan yang ada pada hati pelakunya. Inilah sesungguhnya pesan moral qurban, semakin sering seseorang berqurban, makin nampaklah kerendahan hatinya, makin santunlah ia, makin jernihlah setiap ucapan dan tindakannya.

Adalah tidak hanif apabila seseorang sanggup berqurban, tapi kata-katanya masih saja pahit, kasar dan menusuk. Ia masih gemar membusungkan dada. Kepalanya pun masih saja lebih tinggi dari topinya. Angkuh, seolah-olah berqurban baginya adalah arena untuk menunjukkan betapa besar hartanya di hadapan orang lain. Inilah salah satu indikasi qurban yang sia-sia, seperti salah satu qurban putra nabiullah Adam alahissalam.

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al-Hajj [22] : 37)

Lagi-lagi, kita harus berkaca dengan kurbannya Nabiullah Ibrahim alahissalam dan putranya Ismail untuk memetik nilai keikhlasan qurban yang paling hakiki. Kita memang tidak akan setara dengan para kekasih Allah itu, tetapi meneladaninya bukanlah hal yang mustahil. Kita hanya diminta sebagian kecil dari harta yang kita miliki. Bandingkan dengan perintah Allah kepada Nabi Ibrahim yang diminta menyembelih leher putranya Ismail, dan mereka berdua sanggup melaksanakannya, meskipun Allah kemudian menunjukkan kemahamurahan-Nya dengan mengganti leher Ismail dengan seekor gibas yang subur. Kita hanya diminta menyembelih egoisme dan keserakahan atas cinta yang berlebihan kepada kesenangan duniawi. Cinta dunia boleh-boleh saja karena memang kita hidup di dalamnya. Tetapi jangan membabi buta, karena masih ada kehidupan yang abadi, puncak segala kenikmatan bagi yang beriman dan soleh atau kepedihan yang tak berkesudahan bagi yang mendustakan dan bergelimang kezaliman. Sungguh pesan moral yang sangat agung dan alangkah beruntungnya, jika kita selalu dapat mengadopsi jiwa Ibrahim dan Ismail.

Orang yang sanggup berqurban dengan ikhlas, hakikatnya tidak sedang mengukir kesalehan pribadi semata di hadapan Tuhan, tetapi sesungguhnya tengah membangun kesalehan sosial yang dirasakan manisnya oleh kaum dhuafa. Ini merupakan salah satu sifat dari ajaran Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Kekayaan dalam pandangan Islam tidak untuk dinikmati sendirian, tetapi di dalam harta si kaya itu, ada hak orang miskin yang harus diberikan kepada kaum miskin papa. Kadang keserakahan manusia, malah menggiringnya melupakan hak si miskin. Malah justru menyerobot hak orang lain dengan cara-cara yang tidak dibenarkan agama. Islam mengajarkan untuk berbagi, bukan saling berebut sampai melupakan harga diri. Islam hadir di tengah kita, untuk mempersempit jurang antara miskin dan kaya tidak untuk menempatkan si kaya pada satu kapling dan si miskin di kapling terpencil yang lain.

Saatnya telah tiba. Saat untuk mengadopsi jiwa Ibrahim dan Ismail untuk kebaikan bangsa. Alangkah bahagianya melihat para penguasa, hakim dan jaksa, polisi dan wakil rakyat secara suka rela “menjadi” Ibrahim dan  Ismail-Ismail baru.

Saatnya telah tiba meliukkan kembali “kapak” Ibrahim. Kapak yang mengarahkan manusia-manusia berakal kembali pada iman dan tauhid yang hanif. Kejahatan Kapak Merah dan Kerah Putih di bangsa ini hanya menimbulkan keresahan. Mari gantikan dengan LIUKKAN KAPAK IBRAHIM.

 

Ciputat, Nopember 2009.

Menjelang eksekusi program Panitia Iedul Qurban 1430 H

This e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it

*Sebuah nama dan sosok yang terus dirindukan dan diharapkan perjumpaannya oleh Isteri saya.

 
Copyright © 2009 Alumni SMAN 1 Gunung Talang. All Rights Reserved. | Joomla! is Free Software released under the GNU/GPL License.

Website Alumni SMAN 1 Gunung Talang - Cupak, Solok disiapkan oleh bpiliang | Template by JoomlaPraise