Solok Terbaru
|
Sumbar Terkini
|
Wak Kaji Mabur |
Thursday, 12 November 2009 14:57 |
oleh Ummu Unaysah Labbaikallaahumma labbaik…. Labbaika laa syariika laka labbaik… Panggilan Allah bergaung menanti setiap hambaNYA di Tanah Haram. Setiap tahun di bulan Dzulhijjah, tamu-tamu Allah berdatangan dari segala penjuru dunia menuju Baitullah di Makkah. Dari kota hingga ke desa, dari ujung barat ke paling timur. Tak kenal warna hitam atau putih. Semuanya bersatu, tunduk pada Yang Esa. Ibadah haji adalah ibadah yang paling dirindukan bagi setiap muslim. Karena di dalamnya banyak terkandung hikmah. Napak tilas perjuangan para nabi sampai silaturahim akbar tahunan di kota suci Makkah dan Madinah. Menunaikannya berarti menyempurnakan Rukun Islam. Berarti pula kesempurnaan pada keIslaman kita. Tak ayal lagi, setiap muslim berharap dapat menunaikkannya. Paling tidak, berniat dalam hati kecilnya untuk suatu saat berkunjung ke Ka’bah dan menjadi tamu Allah yang mulia. Tapi tak sedikit pula yang berangkat haji bukan sekedar ingin menyempurnakan iman. Melainkan menyempurnakan status sosial. Ibadah haji tidak melulu urusan spiritual, tapi juga adalah soal kebugaran fisik dan kemampuan finansial. Yang terakhir ini justru paling dominan karena di zaman yang serba matre ini apa-apa mesti dengan duit. Apalagi pergi ke tempat yang beribu-ribu kilometer jauhnya tentulah perlu duit yang tidak sedikit. Selain dapat pergi ke luar negeri, pulang pun dapat predikat baru. Pak Haji, Bang Haji, Tuan Haji atau Wak Kaji, sebutan orang yang sudah berhaji di kampung saya. Untuk mendapat sebutan ini, seseorang minimal harus punya duit 30 juta plus plus. Plus kenduri keberangkatan, plus oleh-oleh ke tanah air dan plus yang lain-lain. Di tetangga kampung saya ada sepasang suami istri yang sangat ngebet pergi haji. Saya tak tahu apakah betul mereka ingin menggenapkan keimanan atau karena kepengen sebutan Wak Kaji itu. Kenapa?Karena profesi yang mereka sandang jauh dari keimanan. Mereka adalah promotor dan pemilik bisnis esek-esek terkenal di salah satu kawasan percutian di lereng gunung di kabupaten tempat saya tinggal. Mereka berangkat dengan sumringah di tengah keprihatinan kami semua. Bagaimana mungkin sebuah ibadah mulia didanai dari harta haram dan mungkin –sekali lagi mungkin- niat yang tidak betul. Kesaksian mereka yang satu kloter terhadap apa yang mereka alami di Arab Saudi mencengangkan kami.. Begitu si istri menginjakkan kaki di Jeddah, ia mengalami haid yang tak putus-putus sehingga menghalanginya melaksanakan ibadah. Si suamipun demikian, tiba-tiba diserang penyakit dan membuatnya tak mampu mengerjakan amalan-amalan haji. Allaahu Akbar! Maha Kuasa Engkau! Mereka tak dibenarkan sedetikpun menginjak Tanah Haram dan menyempurnakan Rukun Islam. Tapi yang juga memprihatinkan nurani saya, pada saat mereka kembali dari bepergian bersama ke tanah suci, mereka tanpa beban apapun berlaku seperti halnya para tamu Allah yang sukses menjalankan ibadah haji. Allah sembuhkan sakit mereka begitu keluar dari Arab Saudi dan kembali ke kampung halaman. Dan satu yang tak ketinggalan. Mereka tetap dipanggil Wak Kaji karena masyarakat tahunya mereka baru pulang haji. Ah, Wak Kaji Mabur, batin saya mendesis. Mana mungkin dapat haji mabrur kalau mereka tak memenuhi kewajiban haji dan pulang tetap menggeluti profesi mereka! |